Wawancara Bersama Penulis Buku Tentang Kota tak Kasat Mata di Sulawesi Tengah

shares

sumber: Etzar Sastra


Senang sekali bisa memperkenalkan buku seorang penulis muda asal palu ini. Setelah melihat respon beberapa teman yang tertarik dengan bukunya, kami membuat pertanyaan singkat untuk menggali buku ini. 


1. Kira-kira awalnya apa yang penulis pikirkan lalu kemudian memutuskan untuk menulis novel ini?

Sebagai pendatang baru di dunia literasi, waktu itu aku hanya ingin benar-benar berkarya. Dengan metode belajar otodidak dan study the pro. Yaitu dengan membaca buku yang pada saat itu merupakan buku best seller. Misalnya, Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. 

Akhirnya dari yang awalnya suka nulis puisi dan cerpen, sampai memutuskan untuk menulis novel yang judul awalnya Bunga di Tepi Jurang. Di saat yang bersamaan, aku sudah menyukai bahkan terjun di ekskul yaitu Pencinta Alam dan tertarik kepada mitos tentang adanya kota tak kasat mata di Sulawesi Tengah. 

Maka aku putuskan segera menulis pengalaman mendaki di gunung Gawalise Palu, dan tentang mitos kota tak kasat mata, Wentira, menjadi sebuah novel.

2. Berhubung cerita dalam buku ini adalah mitos daerah setempat, apakah penulis punya pengalaman pribadi tentang daerah tersebut, atau orang-orang terdekat penulis mungkin. Barangkali bisa diceritakan dulu!

Untuk pengalaman pribadi, saya hanya pernah mencoba ingin memasuki dimensi gaib tersebut. Karena benar-benar penasaran. Tapi memasuki Wentira tidak semudah mengedipkan mata. Bahkan tim Uka-Uka yang waktu itu pernah ingin mencari fakta kebenaran adanya Wentira, justru harus pulang dengan tangan kosong karena menurut ketua adat setempat, jin penghuni Wentira meminta korban. 

Cuma, beberapa kisah atau fakta yang benar-benar terjadi, dulu di lokasi yang dipercaya merupakan pintu gerbang Wentira, sering terjadi kecelakaan. Terutama jika tidak membunyikan klakson 3x ketika melewati jembatan di area tersebut. Kisah lainnya, tentang seorang wanita yang tinggal di daerah kota Palu menghilang dan dipercaya telah menikah dengan salah satu jin di Wentira. Masih banyak lagi kisah lainnya yang tidak bisa dibahas di sini.


3. Berapa lama proses pengerjaan novel ini dari awal riset sampai akhir?

Yang pastinya saya menulis novel ini di akhir tahun 2013. Namun ketika hijrah ke Jakarta, yang namanya merantau, dari nol, kehidupan yang banyak lika-liku membuat penyelesaian novel ini menjadi terhambat. Bunga di Tepi Jurang sempat terbit secara Self Publishing dan hanya dicetak sebanyak 4 eksemplar saja. 

Sampai sekarang hanya menjadi hiasan dinding di kamar kost. Dan, di tahun 2018 saya mencoba merevisi kembali buku tersebut, salah satunya mengubah judul. Bunga di Tepi Jurang menjadi Titisee Air Mata Matahari. Setelah selesai direvisi, saya memutuskan untuk menerbitkannya di salah satu penerbit indie, dan pada awal 2019 Titisee Air Mata Matahari pun terbit dan Limited Edition. Berarti kurang lebih 8 tahun jika dihitung dari awal riset. 


4. Selama menulis ada tidak kendala yang dihadapi dan bagaimana cara penulis mengatasinya?

Kendala? Pasti ada. Dari yang namanya Writer Block, asam garam kehidupan dan lain-lain. Tapi cara mengatasinya juga lumayan banyak. Dari mengevaluasi diri, mencoba untuk keluar dari titik jenuh dunia kerja, traveling, bahkan dengan kembali membaca karya orang lain/study the pro, akhirnya saya bisa bangkit lagi untuk mewujudkan impian menjadi seorang penulis. 

Sekadar tambahan, Studythe Pro gak hanya baca buku, nonton film yang berkaitan dengan dunia menulis juga bisa jadi solusi yang tepat. Rekomendasi saya, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Laskar Pelangi,  Sang Pemimpi, dan lain sebagainya. 

5. Di antara banyak karakter dalam novel anda, mana karakter yang paling anda senangi, mengapa?

Tentu karakter Raditya, Khaya, dan Tiara. Karena dari Petualangan, Misteri, maka genre percintaanlah yang menjadi pemanis di Titisee ini, aku suka bagaimana kekuatan cinta antara tokoh Khaya dan Radit, tapi lebih sakit kepada tokoh Tiara yang sebenarnya menyimpan cinta yang sebegitu besarnya kepada Radit. Dia bahagia melihat kedua sahabatnya saling jatuh cinta tanpa memikirkan ada cemburu di dalam hatinya.

6. Setelah menulis novel ini, bagaimana rencana anda kedepannya? Apakah sedang menulis novel lagi?

Rencana terdekat kepengen menerbitkan Titisee Air Mata Matahari Jilid Dua. Hanya saja mau banget nerbitinnya di penerbit mayor.  Tapi belum punya keberanian maupun jaringan untuk PD menerbitkan buku di penerbit mayor. Namun, jika emang harus kembali di penerbit yang lama juga enggak masalah. Asalkan tidak monoton, tidak berhenti di novel ini saja. 

Saya hanya ingin berkarya seperti penulis lainnya. Kedepannya, saya juga kepengen membuat buku yang sekaligus terdapat mini album di dalamnya, karena selain menulis novel, saya suka menulis lagu. Serta berharap karyaku bisa menjadi best seller sehingga berpotensi untuk diangkat ke layar lebar. Project itulah yang menjadi impianku selama ini. Terima Kasih.

Sukses selalu ya!

Untuk kamu yang ingin mempromosikan karya bukumu, silakan ikuti program Kenalan Buku. 

Related Posts