Tentang Temuan Ayah

shares


Kemarin, tepat satu tahun ayahku tiada. Ya, dia sudah menghembuskan napas terakhirnya. Tidak banyak kenangan yang kami buat karena ia adalah ilmuwan yang sangat sibuk. Apa aku menangis kemarin? Tidak, aku hanya sedih. Tunggu! Aku sedih bukan karena ia sudah meninggalkanku terlebih dahulu, melainkan karena temuannya.

Beberapa hari sebelum hari lalu tiba, aku dihubungi oleh Kepala Laboratorium tempat ayah bekerja. Sebut saja dia adalah Profesor Ace. Dia baik kepadaku, bukan karena aku sopan terhadapnya. Baiknya adalah janji kepada almarhum ayahku untuk merawat dan membesarkan anak semata wayangnya ini.

“Fea, ini uang bulananmu. Pakailah dengan bijak,” ucap Profesor Ace sembari menyodorkan sebuah amplop putih yang aku yakini isinya hanya cukup untuk makan setengah bulan.

“Terima kasih, Prof,” balasku tanpa melihat ke arahnya.

“Hmm.. Fea. Umurmu sudah menginjak usia 20 tahun. Apa kau tetap akan menahan penemuan almarhum ayahmu itu?” tanyanya seperti dengan berhati-hati. Ia seharusnya tahu bahwa aku tetap akan memberikan jawaban yang sama. Lalu, mengapa ia masih bertanya?

Entah apa yang terjadi dengan ayahku semasa hidupnya. Bagaimana bisa beliau membebankan seluruh penemuannya kepada diriku meski hanya sekadar menyetujui?

“Profesor Ace, jawaban saya masih sama,” ujarku menanggapi dengan senyum simpul.

“Kau sudah memikirkan imbalan yang akan kau dapat?” tanyanya masih dengan nada sedikit memohon.

“Saya tahu, Prof. Dengan uang yang akan saya dapat, bisa membeli rumah ratusan hektar,” singkatku.

“Ikutlah dalam pertemuan besok pagi. Mungkin kau bisa mempertimbangkannya lagi,” ajak Profesor Ace sembari tersenyum hangat, mungkin.

“Saya pulang,” putusku sembari bangkit dari dudukku.

“Jangan lupa pukul 9 pagi Nona Fea!” ucap Profesor Ace setengah berteriak. Aku dengar, sangat jelas. Bisa ku pastikan bahwa Profesor Ace dan bawahannya sangat mengharapkan kehadiranku. Terlebih bila aku mau mengubah keputusan yang telah aku buat.

Dan pagi ini, tepat 5 menit sebelum pertemuan dimulai aku sudah datang. Tampak keterkejutan sekaligus kebahagiaan yang terbentuk jelas di wajah mereka yang akan mengikuti pertemuan ini.

“Nona Fea, kau datang?” tanya Kepala Teknisi, RnD Rouv.

“Sekadar datang,” acuhku.

“Tak apa. Kau perhatikan dahulu baik-baik,”

“Selalu itu yang kalian harapkan.” RnD Rouv yang mendengar perkataanku sedikit terkejut. Bagaimana tidak? Gadis berusia 20 tahun yang baru saja memasuki usia dewasa ini menjawab ucapannya seolah akulah yang paling benar.

“Masuklah,” akhirnya sembari membukakan pintu untuknya juga untukku. Aku duduk di kursi ujung meja. Tepat di depan Profesor Ace duduk nantinya.

“Baiklah. Pertemuan saya mulai. Semuanya diharapkan sudah membawa perlengkapan yang diperlukan,” ujar Dokter Jovial dengan tegas. Perlengkapan yang ia maksud adalah kertas dan pena. Meski zaman sudah modern, catatan manual lebih dipilih karena menunjukkan tingkat kecermatan seseorang.

 Tak banyak yang menghadiri pertemuan ini. Hanya ada 5 orang inti dan beberapa robot pembantu.  Mereka adalah Profesor Ace, Dokter Jovial, Drifter Arthur, Dokter Kely, dan RnD Rouv. Di ruangan ini juga terdapat satu robot yang mengawasi jalannya pertemuan dan beberapa robot penjaga ruangan. Sebagian dari mereka adalah buatan ayahku, sebagian lagi buatan Profesor Ace.

“Selamat pagi, Profesor Ace. Selamat datang Nona Fea,” sapa Dokter Jovial sebagai prakatanya.

“Pagi ini, izinkan saya untuk mempresentasikan beberapa hal yang sudah menjadi topik pembicaraan beberapa bulan terakhir ini. Ini adalah temuan mendiang Profesor Roult.” Aku diam, mengamati. Proyektor sudah menampilkan gambarnya. Terdapat sebuah kerangka seperti telur yang ukurannya bisa menampung manusia dengan keadaan duduk bersedekap.

“Proyek ini beliau sebut sebagai Capsula Mundi. Sebuah kapsul ramah lingkungan yang akan menampung seseorang yang sudah tiada. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga ekosistem tanah. Seperti yang kita tahu bahwa peti mati yang sering kita gunakan dapat menghambat ekosistem tanah karena sifatnya yang sulit untuk diuraikan.” Dokter Jovial kembali menggeser layar.

“Ini adalah penampakan peti mati sesudah dan sebelum dicat. Cat yang digunakan bukanlah cat pada umumnya, melainkan cat yang didesain tahan lama dan anti bakteri. Tentu cat ini akan mempersulit bakteri pengurai seperti jamur untuk mengurainya.” Dokter Jovial menggeser layar. Terdapat grafik data kematian per hari di seluruh dunia yang berhasil dikumpulkan oleh WHO.

“Lamanya sebuah peti mati agar bisa diuraikan kurang lebih adalah 4-5 tahun. Cukup lama dibanding angka kematian yang mencapai 5.000 ribu jiwa per hari di dunia. Dari hal ini, bisa kita simpulkan bahwa keadaan bumi kita sudah tidak baik-baik saja.” Slide berikutnya, sebuah gambar tanah yang dipenuhi oleh peti mati di mana-mana.

“Selain karena kapsul ini ramah lingkungan, nantinya di ujung kapsul ini akan ditanami pohon yang akan bertumbuh seiring waktu sebagai pengganti batu nisan. Tentunya hal ini bermanfaat untuk mengurangi polusi udara dan menambah jumlah resapan.”

“Kita bisa menandai satu makam dengan makam yang lainnya menggunakan jenis pohon yang berbeda,” jelas Dokter Jovial dengan ramah. Ia tersenyum di akhir kalimatnya.

“Ada yang perlu ditanyakan?” tanya Dokter Jovial.

“Saya, Dok.” Arthur mengangkat tangan. Ia adalah drifter yang berkelana tanpa rumah. Aku tahu dia, karena saat usiaku 11 tahun ia mengetuk pintu rumahku dan meminta uang layaknya pengemis. Atau dahulu ia memang seorang pengemis, entahlah.

Kebetulan saat itu ayahku berada di rumah. Dan entah bagaimana bisa Arthur diangkat menjadi kepala drifter untuk menjadi mata-mata.

“Silakan.” Dokter Jovial menanggapi.

“Anda lupa menjelaskan bahan penyusun kapsul tersebut, Dokter Jovial.” Ucap Arthur sembari menunjuk gambar di proyektor.

“Pertanyaan bagus, tapi juga mungkin benar.” Dokter Jovial terkekeh sendiri.

“Kapsul ini nantinya akan dibuat menggunakan starch plastic. Starch plastic sendiri adalah plastik yang terbuat dari bahan biomassa seperti lemak dan minyak sayur, tepung jagung, tepung kanji, dan lain sebagainya. Tentunya bahan tersebut sangat mudah diurai dan dapat digunakan sebagai nutrisi bagi pohon yang akan kita tanam,” jelas Dokter Jovial. Aku masih diam, karena jujur idenya sangat bermanfaat nantinya. Suara tepuk tangan rendah terdengar di ruangan yang tak begitu besar ini. Sepertinya perencanaan mereka sudah matang dari jauh hari.

Aku mengangkat tangan. Menghentikan suara tepuk tangan yang bergema pelan.

“Dokter Jovial, lalu di mana sekiranya Anda akan memulai proyek ini?” tanyaku.

“Terima kasih sudah bertanya, Nona Fea. Seperti yang sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, wilayah yang akan kita targetkan adalah ... “ Dokter Jovial menggeser layar, menggantinya dengan gambar lain. “di sini. Di tempat berwarna merah ini kita akan memulainya.”

Terdapat peta yang menggambarkan wilayah sekitar. Peta yang digambar dengan skala 1:320.436 itu menampilkan daerah yang terbagi menjadi 3 warna. Warna hijau adalah pemukiman warga, warna kuning adalah makam aktif, dan warna merah adalah makam pasif.

“Sejak kapan wilayah itu menjadi makam pasif?” tanyaku lagi. Profesor Ace yang duduk di hadapanku menatap dengan teduh namun mengisyaratkan kekhawatiran.

“Selama 11 bulan terakhir makam tersebut tidak digunakan. Masyarakat memindahkan makam aktif ke bagian berwarna kuning sekitar 7 bulan lalu.” jawabnya menjelaskan.

“Lalu ke mana kau akan membawa mayat dan peti mati yang belum terurai?” diam, tak ada yang menjawab. Aku mengerti, mungkin mereka belum mendiskusikannya dengan matang. Tapi, bolehkah aku menuntut kesempurnaan di saat hampir 6 bulan terakhir mereka selalu saja meminta persetujuanku?

“Kau bisa menunggunya, Nona. Kami masih mempertimbangkan kemungkinan paling baik dan bermanfaat untuk hal ini,” ujar Profesor Ace menengahi keheningan.

“Apa kalian lupa bahwa ayahku dimakamkan di sana?” semuanya tampak tertegun. Mereka menyadari satu hal, makam pasif yang akan digunakan untuk uji coba kapsul ini adalah tempat ayahku dimakamkan. Tempat peristirahatan terakhir sosok yang melahirkan mereka menjadi orang berpengaruh, Profesor Roult.

“Kalian boleh memikirkan keuntungan dari proyek ini, tapi selama aku belum menandatanganinya kuharap kalian tidak melangkah terlalu jauh.” Aku bangkit dari dudukku. Kakiku melangkah dengan tegas. Mataku panas hendak menangis.

Mungkinkah benar sebuah pepatah yang mengatakan, seseorang akan lupa pada siapa mereka berpijak tapi tak akan lupa pada siapa mereka bergantung.

Pikiranku seolah terbang ke sana ke mari. Membayangkan jasad ayahku beserta peti matinya digotong yang entah akan dibawa ke mana. Apa mereka lupa, siapa mereka tanpa bantuan Profesor Roult?

Oh, ayolah! Apakah aku salah saat ini? Aku seorang gadis yatim piatu yang harus hidup dengan perjanjian bahwa aku akan di asuh oleh seorang pria yang rakus akan jabatan dan harus menyetujui setiap penemuan ayahku yang akan dikembangkan oleh laboratorium miliknya. Aku adalah pengendali laboratorium itu. Tanpa persetujuanku, seluruh temuan ayahku tidak berhak dikembangkan. Dan ketika mereka -orang-orang yang sudah dibawa menuju masa kesuksesannya oleh ayahku- akan mengembangkan penemuan ayahku dengan menggusur makam tempatnya bersemayam, apakah aku akan diam saja?

Aku tidak bermasalah dengan ide yang kreatif itu. Yang aku permasalahkan adalah cara mereka memberlakukan ide tersebut di masyarakat. Dengan membongkar makam yang telah lalu? Beberapa waktu lalu, ia baru saja mengungkapkan bahwa peti itu bisa diurai 4-5 tahun, lalu jasad yang baru dikebumikan bagaimana?

Saat seperti ini, aku berpikir. Apakah aku yang belum bisa berpikir lebih dewasa atau memang temuan ayah yang bisa disalahkan gunakan di kemudian hari?*


*Sikna Aurel Rianditha, penulis adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Lahir 15 tahun lalu tepat tanggal 2 April. Mulai aktif dalam tulis menulis semenjak pandemi. Penulis bisa disapa di akun instagram: @sikna.ar dan melalui email: siknaarianditha@gmail.com. Tergabung pula di Teman Menulis Angkatan 2.

Related Posts