Friday 17 July 2020

IDN App Blog Review Competition


Halo teman menulis! Ada lomba blog baru nih!

Kali ini berbeda dengan lomba blog sebelumnya, di lomba ini teman-teman diajak untuk ikut merasakan pengalaman menggunakan IDN App terlebih dahulu. 

Kabar gembira buat kamu yang lagi cari tambahan pemasukan!

Buat kalian yang sering bikin review sesuatu, ini saatnya untuk unjuk gigi dan dapatkan kesempatan untuk raih hadiah jutaan rupiah. Mulai tanggal 6 Juli 2020, IDN Times mengadakan lomba blog review IDN App yang terbuka bagi semua kalangan.

Berbeda dengan kompetisi menulis sebelumnya, kali ini IDN Times mengajak untuk memberikan review positif pengalaman menggunakan IDN App.

Ketentuan Artikel



  1. Panjang artikel minimal 600 kata.
  2. Artikel ditulis dengan mengandung kata “IDN App” di Judul dan bisa memilih 4 topik yakni (pilih salah satu):
    - Review Aplikasi IDN App.
    - Kualitas artikel yang ada di IDN App.
    - Fitur dan Kelebihan IDN App.
    - Download aplikasi IDN App.
  3. Artikel yang ditulis wajib menyertakan 2 backlink anchor text dari 2 landing page. 
    Berikut 2 Landing Page yang harus di masukan linknya di dalam artikel:
    - https://play.google.com/store/apps/details?id=com.idntimes.idntimes&hl=en
    - https://apps.apple.com/id/app/idn-berita-terlengkap/id1035533846
    Contoh di bawah ini:
    Keyword “IDN App" diarahkan ke:https://play.google.com/store/apps/details?id=com.idntimes.idntimes&hl=en dan https://apps.apple.com/id/app/idn-berita-terlengkap/id1035533846
  4. Dan berikut keyword-keyword atau kata kunci yang bisa digunakan:
    - IDN App
    - Aplikasi Berita Terlengkap
    - Aplikasi Baca Berita
    - Aplikasi Berita Terkini
    - Aplikasi Berita Hari Ini
  5. Artikel yang ditulis merupakan karya dari penulis itu sendiri, belum pernah dipublikasikan di media/platform apapun dan tidak mengandung unsur pornografi, SARA, muatan politik atau tindakan yang melanggar hukum (akan di review oleh tim IDN Media).
  6. Artikel ditulis menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.
  7. Artikel harus terindeks di mesin pencari sampai jangka waktu penjurian selesai.

Akan ada total hadiah 5 juta rupiah yang sudah IDN Times siapkan untuk pemenang dengan review terbaiknya.

10 orang pemenang akan mendapatkan hadiah berupa uang tunai dengan besaran :
- Juara 1: Rp. 2.000.000,-
- Juara 2: Rp. 1.000.000
- Juara 3: Rp. 600.000
- 7 Juara umum: @ Rp. 200.000

Pajak hadiah ditanggung PENYELENGGARA
Wednesday 15 July 2020

Mandat




“Kalau mak enggak ada umur, mak pengen tempat di sebelah kakakmu di kampung.”

Sueb memantik lagi geretan kayunya. Kembali, dua batang kretek di sela bibir menyala. Diselingi seruput kopi hitam yang ketiga, pikirannya membumbung tak berarah. Kadang khayal membawanya ke masa silam, ketika banyak kambing diantar ke kandang. Semenit kemudian pindah ke zaman di mana dia berkelana dengan gitar dari satu angkot ke angkot lain. Lalu, seolah asap rokoknya dimantrai, itu semua menyatu di udara dan membentuk wajah si emak. Seketika dia terbatuk. Tersedak hasil isapan puntung yang lagi dinikmati. Buru-buru ditenggaknya kopi. Bukan lega, dia makin kewalahan. Disengat panas, masih terbatuk-batuk, lidahnya terjulur.

Puas mengademkan lidah, Sueb bersumpah serapah. Segala binatang dibawa-bawa. Semua disalahkan, termasuk Siti yang membuat kopi, dua batang rokoknya yang sudah dibikin mati, dan emak. Mendadak berhenti dia mencak-mencak. Sambil mengusap tengkuk dia singkirkan si emak. Jangan sampai tambah kualat lantaran muka emaknya yang tadi mendadak muncul. Namun, wajah penuh keriput dengan pipi yang kempot, ditambah sepasang kantong mata yang kendur dan lebar, juga iris yang kehilangan warna asli, dan bibir yang menganga kaku, menjadi sangat lekat di matanya. Bahkan pesing yang dulu menguar dari kamar si emak turut tercium. Tidak hanya mata, hidung pun kini ditutupnya.

Hampir sebulan sejak Sueb ditarik ke kamar emak begitu sampai rumah. Masih mengenakan baju penuh tepung, dilihatnya emak yang megap-megap. Langsung duduk dia di pinggir ranjang. Mengamati mata emak yang setengah terbuka, ditelannya marah untuk Siti. Pelan, dia genggam tangan emaknya. Mungkin sebentar lagi emak akan pergi. Mungkin sekarang emak tengah menatap malaikat maut.

Hati Sueb sudah siap menerima, ketika genggamannya dibalas lebih kuat. Setengah berteriak dia memanggil Siti yang diam di ambang pintu. Saat Siti berdiri di sisi, dada emak sudah berhenti naik-turun. Dia menatap istrinya yang lirih berucap bela sungkawa. Lalu, ke mata emaknya yang masih setengah terbuka. Sedih mulai merayap. Satu-satunya orang tua yang dipunya telah kembali ke Sang Pencipta. Siti berbisik, untuk memberi tahu tetangga. Diberi waktu berdua, dia lantas membelai kepala si emak. Teringat dia waktu hidup di desa. Berdua saja dengan emak. Juga, apa yang diinginkan emak belakangan ini.

Emak sangat jarang meminta. Meski harta Sueb terus bertambah, jika tidak ditanya mau apa, bibir tipisnya tetap bungkam. Sekalinya terlontar, paling minta dibelikan ketoprak dengan bawang putih yang banyak. Namun, sejak gerak badan sebatas kasur kapuknya, emak jadi sering mengoceh. Itu pun hanya dengan Sueb dia mau berceloteh.

“Temani emak kali-kali, A.”

Diserbu permintaan serupa dari Siti setiap pulang, Sueb jadi sering bertukar peran. Hampir setiap hari Siti yang beranjak ke toko kelontong mereka di pasar, sedang dia menyuapi emak sarapan. Baru dia sadari kala mengelap badan si emak, betapa kurus emaknya. Dulu, emak sering menggendongnya di punggung saat keliling jual gorengan. Sekarang, jangankan ke kamar mandi, berdiri saja tidak mampu. Bukan tanpa usaha dia mau emak sembuh. Dari rumah sakit besar sampai dukun mereka sambangi. Namun, emak tetap sering linglung. Dan hanya tangan, mata, mulut yang bisa bergerak bebas.

“Jum di mana?” Juga pikunnya yang sering kumat. Sueb sudah terbiasa.

“Di kampung, Mak.” Sueb kembali mengelap lengan emak. Sedikit tersentak dia, ketika lengan emak yang bebas memegang tangannya.

Emak selalu anteng, saat Sueb atau Siti membersihkan tubuhnya. Namun, kali ini emak ingin didengar. Rasa rindunya pada Jum semakin membuncah. Anak bontotnya ini harus tahu, dia mau ketemu Jum. Mau kembali merawat Jum. Mau temani Jum.

“Ayo, ke kampung. Mak mau lihat Jum.” Dalam keterbatasan pelafalan inginnya, emak menyiratkan serius di mata.

Tidak hanya kali ini Sueb mendengar itu. Dua jam lalu, ketika Siti baru naik ojek ke pasar, si emak juga ngomong mau ke Jum.  Bahkan, semalam sebelum tidur pun emak menuturkan hal yang sama. Dia berhenti mengelap lengan emak. Berganti tangannya mengelus punggung tangan emak.

“Iya. Nanti, kalau Emak sehat.”

Emak tampak manut. Sepasang matanya kembali ke langit-langit; menatap kosong pada tripleks di sana. Dia tidak tahu, kalau ada lirih yang diserukan anak bontotnya. Ada maaf yang tidak dia dengar.

Setiap emak melontarkan mau bertemu Jum, Sueb merasa hatinya dicubit. Sebelum sakit, emak tidak pernah mengungkit lagi tentang Jum. Kisah terakhir yang didengar adalah kakaknya itu meninggal satu jam setelah dilahirkan. Dikuburkan di dekat pintu dapur, karena emak tidak ingin jauh dari si sulung. Itu pun sebelum mereka pindah ke Jakarta. Sekarang, kisah Jum bagai dongeng tanpa akhir. Dimulai dari segala usaha yang dilakukan emak dan abah buat dapat anak, lalu kesedihan mendalam ketika Jum meninggal. Tidak ada abah dan dia dalam tutur emak. Hanya Jum.

“Kasihan si Jum sendirian.” Ditutup emak dengan ucapan serupa, beban di hati Sueb semakin mengimpit. Terlebih, emak secara gamblang menambahkan ingin tempat di sebelah Jum.

“Iya. Nanti Emak bakal di sana.” Sueb menyanggupi, meski maaf lagi-lagi di hati.

Sampai emak dimandikan, dikafani, dibawa pakai ambulans, lidah Sueb tetap tidak bergerak mengungkap semua. Siti sudah rajin menasihatinya. Saban waktu luang istrinya itu mendorong untuk berterus terang. Dia tidak sanggup. Menatap wajah emak nyalinya langsung ciut. Emak sudah berpesan sejak tidak bisa pergi jauh, dia dan Siti yang ke kampung. Menjenguk saudara yang masih ada dan ziarah ke makam kakaknya. Namun, bukan ke kampung tujuan mereka tiap tahun.

Sueb menyesal. Andai bulu kuduknya tidak meremang, otot-ototnya tidak kaku, dan sekujur tubuhnya tidak disetrum hasrat ingin terbirit-birit, rela dia bersujud di hadapan emak yang melayang. Atau paling tidak, emak menyambanginya dengan wujud yang wajar, bukan dalam balutan kain putih bernoda tanah di sana-sini.

Sueb ingin pasrah. Biar saja emak terus mengganggunya. Mungkin kalau sudah bosan, emak tenang sendiri. Namun, sampai kapan? Empat puluh hari? Seratus hari? Batinnya yang tidak kuat diteror saat dini hari. Bosan juga dia terus mengintil Siti.

“Kenapa, A?”

Sueb tersentak. Perlahan, dibukanya mata. Tersengal, tetapi lega. Siti berlutut di sampingnya. Dengan pelan memberi elusan di pundak.

“Enggak bisa kayak begini terus, A.” Belum sempat Sueb berucap, Siti sudah paham.

“Terus bagaimana?” Mendengar itu, Sueb jadi naik darah. Dibantu Siti, dia kembali duduk di bangku kayu. “Aku sudah jelaskan semua di kuburan emak. Sudah mohon-mohon maaf sama emak, seperti yang bapakmu sarankan. Tapi, apa? Emak malah makin gencar bikin aku takut!” Ingin dia mengumpat, tapi ditelan semua cercaan.

Terburu-buru guna meredam marah, Sueb minum lagi kopi hitamnya. Panas dari kopi kembali menyengat. Sumpah serapah langsung meluncur mulus dari mulut. Kali ini, tanpa bawa-bawa Siti.

Siti duduk di sebelah Sueb. Terhalang meja kecil, dia condongkan badan. “Mungkin kita harus pakai cara pak Slamet, A.” Pelan, dia ingatkan Sueb solusi terakhir mereka.

“Gila kamu!” Mata Sueb membelalak. “Kalau tanah di rumah sana masih ada, sudah dari awal kita kubur emak di sana. Nyatanya, itu sekarang aspal! Aspal, Ti! Lagian letak kuburan Jum juga kita enggak tahu!” Sueb mengusap kasar wajahnya.

“Seharusnya, kita kasih tahu emak sebelum—”

“Terus kita enggak punya toko. Aku masih jadi kuli di toko Udin dan si Arman enggak punya mainan bagus kayak sekarang!” Sueb makin berang. Semakin kasar pula dia mengusap muka. “Sudah! Ayo,  temani ke kamar mandi,” titahnya. Bahkan ke kamar mandi dia minta ditunggui Siti.

Siti manut. Berjalan di belakang Sueb, dia lihat punggung suaminya itu membungkuk. Tampak lesu dan kurang gairah hidup. Dia memang tidak merasakan langsung, tetapi tetap kena efek. Sementara mengurus Sueb layaknya bocah yang enggan pisah, anak mereka terpaksa dititipkan ke orang tuanya di Bogor. Dia sadar, sudah turut andil. Kalau waktu itu dia bisa menahan Sueb dan sedikit berhemat untuk modal usaha, mungkin hari ini mereka masih bersama, dan emak sudah tenang di alam sana.

Siti tidak banyak protes, ketika harus menunggui Sueb di depan kamar mandi atau dirongrong keinginan Sueb. Dia juga rela tidur lebih larut untuk memastikan Sueb sudah pulas. Namun, ada kala kantuk lebih manja menggelayut di mata. Kalau sudah begitu, kepala menempel di bantal pun bisa langsung bablas mimpi.

Sueb tahu istrinya sangat lelah. Saat dilihatnya Siti terlelap lebih dulu, dia tahan keinginan membuat Siti bangun. Jika tidak ada urusan ke kamar mandi, dia masih bisa mengalihkan pikiran dengan aktif di sosial media. Dan berharap segera terlelap.

Sueb mulai rileks sebelum tahu sudah jam berapa sekarang. Tubuhnya mulai mepet ke tembok. Diperhatikannya Siti yang mulai mendengkur. Enak sekali Siti bisa nyenyak. Kalau dia, pasti sekarang sudah mulai mimpi buruk. Diubahnya posisi menjadi tengkurap, tapi hanya sebentar. Dia ingat pernah ketindihan di posisi itu. Telentanglah dia. Salah juga, dia pernah melihat wajah emak menyembul dari langit-langit. Menghadap tembok, tidak bagus. Pernah ketika berbalik, ada emak di belakang Siti.

Sueb menyerah. Mungkin dia benar-benar harus bersujud. Dia akan menekan rasa takut. Malam ini, harus dia selesaikan. Dia akan bersujud di hadapan emak. Harus! Tekadnya sudah bulat, tetapi saat teror mulai menyerang, sekujur badannya kaku.

Sueb hafal urutannya. Mula-mula rasa tidak nyaman merembet hingga bulu kuduk berdiri dan pikiran dibayang-bayangi kemunculan emak. Lalu, sekujur tubuh mati fungsi bahkan untuk memanggil Siti dia tidak mampu. Dan yang menjadi puncak adalah ketika namanya dipanggil. Pelan. Parau. Dan terasa jauh. Setelah itulah emak muncul.

Sueb tercekat. Emak tidak menyembulkan kepala di langit-langit, atau berdiri di belakang Siti, atau muncul dari pintu kamar. Kali ini, wajah emak muncul begitu saja di depan wajahnya. Sekitar sejengkal jarak wajah mereka. Dia bisa melihat jelas keriput wajah emak, kedua mata emak yang ditutup kapas, kedua lubang hidung emak yang disumpal kapas, dan bibir emak yang terbuka. Jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin mulai keluar. Lidahnya kelu. Badannya masih kaku. Dia pikir, emak akan memakannya, tetapi emak hanya melontarkan kata demi kata. Terbata-bata emak mengatakan hal yang tidak serupa.

“Emak enggak tanya soal Jum lagi. Dia enggak bilang, 'mana Jum, Jum di mana?' Beda, Ti.” Sueb pelan-pelan menyeruput kopinya. Setelah dibangunkan Siti, dia langsung minta kopi. Masih bersandar di atas kasur, dia ucapkan semua yang dialaminya semalam pada Siti.

Siti yang belum sempat mandi langsung melayani. Kaget juga dia melihat suaminya yang bergerak-gerak gelisah dalam tidur. Beruntung dia mendusin, jadi Sueb bisa langsung dibangunkan. “Terus?” Dia memijat pelan kaki suaminya.

Sebentar, Sueb menerawang. Dia mendengkus pelan. “Emak bilang, ‘kasihan anak saya. Menderita. Kalau kita sama-sama, anak saya pasti tenang.’ Begitu terus. Sedih banget si emak. Menurutmu apa Jum menderita di sana?”

“Bayi enggak punya dosa, A. Tapi, mungkin Jum sedih enggak bisa dekat sama emak. Terus, itu rambut putih siapa?”

Sueb mengikuti arah tatap Siti. Ada sejumput rambut putih di atas meja kecil di sebelah ranjang. Dengan hati-hati  dia ambil rambut itu. Pas kopi tersaji, dia baru sadar ada rambut di sana. Semula dia diamkan. Pikirnya, rambut Siti. Namun, diperhatikan lagi itu bukan punya Siti. Helai dalam genggamannya tebal, tidak tipis seperti punya Siti.

“Emak.” Sueb menatap Siti. “Punya emak?”

“Mungkin, A.”

Sueb langsung menyuruh Siti mengambil plastik untuk wadah rambut itu, sedangkan dia bersiap diri. Mandi kilat, langsung memanasi motor. “Ke Slamet,” jawabnya waktu Siti bertanya. Tanpa menggubris Siti yang minta ikut, dia memacu motor ke rumah kenalan yang dulu pernah menyarankan untuk memindahkan makam si emak. Dia percaya, Slamet bisa memprediksi pertanda yang dikirim emak. Mungkin emak sudah mau memaafkannya. Mungkin dengan sejumput rambut dalam plastik putih di saku jaketnya ini semua akan berakhir. Emak tidak akan menerornya lagi. Dia akan kembali tenang.

Tiba di rumah Slamet, penuh konsentrasi Sueb menyimak. Si cenayang bilang, rambut itu adalah harta yang dimiliki emak. Sueb membenarkan. Emak sangat menyayangi rambut, bahkan kalau tidak sakit mungkin sudah menutupi bokong emak. Slamet melanjutkan, kalau Sueb tidak bisa memindahkan jasad emak, Sueb bisa meletakkan rambut ini persis di tempat yang emak mau.

Sueb bersorak dalam hati. Pikirannya sejalan dengan Slamet. Usai Slamet membekalinya dengan sebotol air penuh doa, Sueb langsung meluncur ke kampung halaman. Jalanan masih agak lenggang. Lampu-lampu di sisi kiri-kanan masih menyala. Tanpa masker, Sueb bisa menghela dalam udara yang masih terasa sejuk. Dadanya sudah plong. Sekejam apa pun si emak kalau bersumpah dan menuntut, tapi dia tahu emak tidak akan tega pada darah daging sendiri.

Meski sudah empat tahun tidak menjalankan amanah emak untuk ziarah, Sueb masih mengingat jelas rute kampung mereka. Melewati terminal Rangkasbitung, Sueb mengambil jalur kiri. Terus melaju hingga masuk Pandeglang. Jalannya tidak lagi lurus setelah melewati perkebunan karet. Meski berkelok-kelok, dia tetap melaju kencang. Dia ingin cepat berakhir.

Memasuki perkebunan sawit, hangat matahari mulai merambat di sela-sela perkebunan sawit. Dulu, Sueb sering bermain di sini. Tidak ada yang berubah kecuali jalan yang Sekarang beraspal. Seperti apa kampungnya sekarang?

Sampai di jalan bercabang, Sueb mengambil rute kiri. Dan sejauh jangkauan pandangnya hanya ada jalan tandus. Tidak ada rumah, jalan tanah berbatu, dan pohon seperti dulu. Sueb tidak tahu pasti di mana rumahnya. Pohon petai cina yang merupakan patok sudah tidak ada. Di kejauhan hanya terdengar deru mobil konstruksi. Dia memelankan laju. Celingukan memandang sekitar. Seketika rindu menyeruak. Apa kabar teman-teman masa kecilnya? Terakhir mereka bertemu ketika menandatangani surat jual-beli tanah. Di mana mereka sekarang? Yang tersisa dari masa kecilnya hanya kenangan.

Sadar apa yang menjadi tujuannya, Sueb kembali memacu kecepatan motor. Sambil memasukkan tangan ke saku jaket, dia berharap emak memberi petunjuk. Emak sudah mengisyaratkan lewat rambut, tinggal di mana dia harus meletakkan itu.

Genggaman Sueb pada plastik tempat rambut emak disimpan semakin kuat. Hatinya terus berseru minta petunjuk. Dia ingin hidup tenang. Ingin bahagia. Ingin bebas. Tidak mau menjadi gila lantaran dihantui terus.

Sueb terus melaju kencang, sampai seekor kucing tiba-tiba saja melintas. Dia membanting setang ke kanan. Motornya oleng. Masih melaju kencang, belum sempat menekan rem, keseimbangannya hilang.

Sueb mendengar bunyi yang keras. Tulangnya serasa dipereteli. Pusing langsung menghantam keras di kepala. Dia tidak bisa bergerak. Terkapar dengan deru mobil konstruksi di kejauhan dan samar-samar suara emak yang memanggil di kejauhan.*

*Lilis Mariyansah, aktif dalam berbagai grup menulis dan juga tergabung dalam Teman Menulis.
Friday 10 July 2020

Puisi-Puisi Hapsari Putri




Nenek Tua


Indurasmi tergantung di atas sana
Terlihat kekar sebelum bagaskara menerjang
Samar-samar terdengar riuh gerakan nyiur
Iringi payoda terseret paksa rayuan anila
Meniadakan lalu menyatukan
dalam lembar cakrawala
Membuat daun tergesa mencium tanah
            Gemerusuk tercipta saat dilewati
            Hantarkan langkah nenek tua
            Mulut bergetar ciptakan alunan doa
            Semua tergesa bagai tempo hari
            Saat janji dibuat di depan para saksi
Tak berdaya saat kata itu menyapa
Ada rasa yang tak sanggup teraba, sebagian nyawanya hirap
Semua harsa tak mampu menyapa
Buana terasa temaram
            Anca tak terhitung jumlah, nenek tua selesaikan derap
            Kini ia telah menegak di sana
            Disamping kakek tua dengan senyuman mengaku
            Nenek tua tersedu, membuat pair jantungnya
            Menyesal tak menjadi yang terakhir 
            saat pujaan menuju alam baka
Perlahan kain putih terjulur
Senyuman kaku itu tak tampak lagi
Pergi bersama pembaringan yang menyisakan arumi
Nenek tua sadrah di tengah masygul
            Teteskan air mata menyentuh bumi
            Semua terasa gamang
            Menyadari dirinya telah rimpuh
            Berjeda untuk sementara
Indurasmi masih tergantung di atas sana
Tetap kekar seperti sebelumnya
Walau kakek tua telah tiada



Arunika

Arunika tertunda
Tak ada sapaan ina di awal hari
Hanya mega bergerombol menjadi redum
Ciptakan pola mengakar di cakrawala
Gemuruh terdengar, hentakkan suara
Ada yang turun menghujam tanah
Menyatukan celah tercipta oleh ina
Celah memudar, lapisan melunak
Lembab, basah, kemudian tergenang
Suhu makin membeku
Nenek tua makin meringkuh
Tak sanggup relakan sebagian atma
Aku tahu hatinya rapuh, tapi suhu ini tetap utuh
Nenek tua tersimpuh di samping pembaringan
Tergeletak sang pujaan, ialah pangeran
Dengan senyuman mengaku
Mereka tak saling menyapa
Tak ada lagi yang terucap
Tak bisa saling menatap
Selaksa kata yang mengudara
Sampaikan rasa tanpa aksara
Kuatkan jiwa agar tak meretak
Jangan rawat isak, nenek kuat
Lawan sendu, lawan gundah



Bumantara Terang


Rinai terhapus, cahaya mulai menembus
Bumantara terang, tak ada yang menghadang
Acara mulai tertata, doa mulai meraja
Ada yang terangkat lalu teriring
Rentetan doa dilangitkan para insan

Jalan ini masih sama
Seperti dahulu pertama mereka bertemu
Arahnya tak berubah
Hanya aspal yang mulai mengelupas

Jalan ini masih sama
Seperti dahulu pertama dari pelaminan
Nuansanya tak berubah
Hanya kini mereka terpisah buana





*Hapsari Putri, menulis puisi, cerpen namun lebih sering menulis puisi. Menerbitkan buku novel pertamanya yang berjudul ”Rasa berdasar Sejarah (2019)”. Mengikuti beberapa lomba puisi nasional yang karyanya kemudian lolos lalu dibukukan menjadi buku antologi, beberapa judul buku antologi puisi yang memuat karyanya yaitu “Memetik Rintik (2020)”, “Luka (2020)”, “Raungan Meratus (2020)”. Tergabung pula di Teman Menulis Angkatan 1.


Wednesday 1 July 2020

Tentang Temuan Ayah


Kemarin, tepat satu tahun ayahku tiada. Ya, dia sudah menghembuskan napas terakhirnya. Tidak banyak kenangan yang kami buat karena ia adalah ilmuwan yang sangat sibuk. Apa aku menangis kemarin? Tidak, aku hanya sedih. Tunggu! Aku sedih bukan karena ia sudah meninggalkanku terlebih dahulu, melainkan karena temuannya.

Beberapa hari sebelum hari lalu tiba, aku dihubungi oleh Kepala Laboratorium tempat ayah bekerja. Sebut saja dia adalah Profesor Ace. Dia baik kepadaku, bukan karena aku sopan terhadapnya. Baiknya adalah janji kepada almarhum ayahku untuk merawat dan membesarkan anak semata wayangnya ini.

“Fea, ini uang bulananmu. Pakailah dengan bijak,” ucap Profesor Ace sembari menyodorkan sebuah amplop putih yang aku yakini isinya hanya cukup untuk makan setengah bulan.

“Terima kasih, Prof,” balasku tanpa melihat ke arahnya.

“Hmm.. Fea. Umurmu sudah menginjak usia 20 tahun. Apa kau tetap akan menahan penemuan almarhum ayahmu itu?” tanyanya seperti dengan berhati-hati. Ia seharusnya tahu bahwa aku tetap akan memberikan jawaban yang sama. Lalu, mengapa ia masih bertanya?

Entah apa yang terjadi dengan ayahku semasa hidupnya. Bagaimana bisa beliau membebankan seluruh penemuannya kepada diriku meski hanya sekadar menyetujui?

“Profesor Ace, jawaban saya masih sama,” ujarku menanggapi dengan senyum simpul.

“Kau sudah memikirkan imbalan yang akan kau dapat?” tanyanya masih dengan nada sedikit memohon.

“Saya tahu, Prof. Dengan uang yang akan saya dapat, bisa membeli rumah ratusan hektar,” singkatku.

“Ikutlah dalam pertemuan besok pagi. Mungkin kau bisa mempertimbangkannya lagi,” ajak Profesor Ace sembari tersenyum hangat, mungkin.

“Saya pulang,” putusku sembari bangkit dari dudukku.

“Jangan lupa pukul 9 pagi Nona Fea!” ucap Profesor Ace setengah berteriak. Aku dengar, sangat jelas. Bisa ku pastikan bahwa Profesor Ace dan bawahannya sangat mengharapkan kehadiranku. Terlebih bila aku mau mengubah keputusan yang telah aku buat.

Dan pagi ini, tepat 5 menit sebelum pertemuan dimulai aku sudah datang. Tampak keterkejutan sekaligus kebahagiaan yang terbentuk jelas di wajah mereka yang akan mengikuti pertemuan ini.

“Nona Fea, kau datang?” tanya Kepala Teknisi, RnD Rouv.

“Sekadar datang,” acuhku.

“Tak apa. Kau perhatikan dahulu baik-baik,”

“Selalu itu yang kalian harapkan.” RnD Rouv yang mendengar perkataanku sedikit terkejut. Bagaimana tidak? Gadis berusia 20 tahun yang baru saja memasuki usia dewasa ini menjawab ucapannya seolah akulah yang paling benar.

“Masuklah,” akhirnya sembari membukakan pintu untuknya juga untukku. Aku duduk di kursi ujung meja. Tepat di depan Profesor Ace duduk nantinya.

“Baiklah. Pertemuan saya mulai. Semuanya diharapkan sudah membawa perlengkapan yang diperlukan,” ujar Dokter Jovial dengan tegas. Perlengkapan yang ia maksud adalah kertas dan pena. Meski zaman sudah modern, catatan manual lebih dipilih karena menunjukkan tingkat kecermatan seseorang.

 Tak banyak yang menghadiri pertemuan ini. Hanya ada 5 orang inti dan beberapa robot pembantu.  Mereka adalah Profesor Ace, Dokter Jovial, Drifter Arthur, Dokter Kely, dan RnD Rouv. Di ruangan ini juga terdapat satu robot yang mengawasi jalannya pertemuan dan beberapa robot penjaga ruangan. Sebagian dari mereka adalah buatan ayahku, sebagian lagi buatan Profesor Ace.

“Selamat pagi, Profesor Ace. Selamat datang Nona Fea,” sapa Dokter Jovial sebagai prakatanya.

“Pagi ini, izinkan saya untuk mempresentasikan beberapa hal yang sudah menjadi topik pembicaraan beberapa bulan terakhir ini. Ini adalah temuan mendiang Profesor Roult.” Aku diam, mengamati. Proyektor sudah menampilkan gambarnya. Terdapat sebuah kerangka seperti telur yang ukurannya bisa menampung manusia dengan keadaan duduk bersedekap.

“Proyek ini beliau sebut sebagai Capsula Mundi. Sebuah kapsul ramah lingkungan yang akan menampung seseorang yang sudah tiada. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga ekosistem tanah. Seperti yang kita tahu bahwa peti mati yang sering kita gunakan dapat menghambat ekosistem tanah karena sifatnya yang sulit untuk diuraikan.” Dokter Jovial kembali menggeser layar.

“Ini adalah penampakan peti mati sesudah dan sebelum dicat. Cat yang digunakan bukanlah cat pada umumnya, melainkan cat yang didesain tahan lama dan anti bakteri. Tentu cat ini akan mempersulit bakteri pengurai seperti jamur untuk mengurainya.” Dokter Jovial menggeser layar. Terdapat grafik data kematian per hari di seluruh dunia yang berhasil dikumpulkan oleh WHO.

“Lamanya sebuah peti mati agar bisa diuraikan kurang lebih adalah 4-5 tahun. Cukup lama dibanding angka kematian yang mencapai 5.000 ribu jiwa per hari di dunia. Dari hal ini, bisa kita simpulkan bahwa keadaan bumi kita sudah tidak baik-baik saja.” Slide berikutnya, sebuah gambar tanah yang dipenuhi oleh peti mati di mana-mana.

“Selain karena kapsul ini ramah lingkungan, nantinya di ujung kapsul ini akan ditanami pohon yang akan bertumbuh seiring waktu sebagai pengganti batu nisan. Tentunya hal ini bermanfaat untuk mengurangi polusi udara dan menambah jumlah resapan.”

“Kita bisa menandai satu makam dengan makam yang lainnya menggunakan jenis pohon yang berbeda,” jelas Dokter Jovial dengan ramah. Ia tersenyum di akhir kalimatnya.

“Ada yang perlu ditanyakan?” tanya Dokter Jovial.

“Saya, Dok.” Arthur mengangkat tangan. Ia adalah drifter yang berkelana tanpa rumah. Aku tahu dia, karena saat usiaku 11 tahun ia mengetuk pintu rumahku dan meminta uang layaknya pengemis. Atau dahulu ia memang seorang pengemis, entahlah.

Kebetulan saat itu ayahku berada di rumah. Dan entah bagaimana bisa Arthur diangkat menjadi kepala drifter untuk menjadi mata-mata.

“Silakan.” Dokter Jovial menanggapi.

“Anda lupa menjelaskan bahan penyusun kapsul tersebut, Dokter Jovial.” Ucap Arthur sembari menunjuk gambar di proyektor.

“Pertanyaan bagus, tapi juga mungkin benar.” Dokter Jovial terkekeh sendiri.

“Kapsul ini nantinya akan dibuat menggunakan starch plastic. Starch plastic sendiri adalah plastik yang terbuat dari bahan biomassa seperti lemak dan minyak sayur, tepung jagung, tepung kanji, dan lain sebagainya. Tentunya bahan tersebut sangat mudah diurai dan dapat digunakan sebagai nutrisi bagi pohon yang akan kita tanam,” jelas Dokter Jovial. Aku masih diam, karena jujur idenya sangat bermanfaat nantinya. Suara tepuk tangan rendah terdengar di ruangan yang tak begitu besar ini. Sepertinya perencanaan mereka sudah matang dari jauh hari.

Aku mengangkat tangan. Menghentikan suara tepuk tangan yang bergema pelan.

“Dokter Jovial, lalu di mana sekiranya Anda akan memulai proyek ini?” tanyaku.

“Terima kasih sudah bertanya, Nona Fea. Seperti yang sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, wilayah yang akan kita targetkan adalah ... “ Dokter Jovial menggeser layar, menggantinya dengan gambar lain. “di sini. Di tempat berwarna merah ini kita akan memulainya.”

Terdapat peta yang menggambarkan wilayah sekitar. Peta yang digambar dengan skala 1:320.436 itu menampilkan daerah yang terbagi menjadi 3 warna. Warna hijau adalah pemukiman warga, warna kuning adalah makam aktif, dan warna merah adalah makam pasif.

“Sejak kapan wilayah itu menjadi makam pasif?” tanyaku lagi. Profesor Ace yang duduk di hadapanku menatap dengan teduh namun mengisyaratkan kekhawatiran.

“Selama 11 bulan terakhir makam tersebut tidak digunakan. Masyarakat memindahkan makam aktif ke bagian berwarna kuning sekitar 7 bulan lalu.” jawabnya menjelaskan.

“Lalu ke mana kau akan membawa mayat dan peti mati yang belum terurai?” diam, tak ada yang menjawab. Aku mengerti, mungkin mereka belum mendiskusikannya dengan matang. Tapi, bolehkah aku menuntut kesempurnaan di saat hampir 6 bulan terakhir mereka selalu saja meminta persetujuanku?

“Kau bisa menunggunya, Nona. Kami masih mempertimbangkan kemungkinan paling baik dan bermanfaat untuk hal ini,” ujar Profesor Ace menengahi keheningan.

“Apa kalian lupa bahwa ayahku dimakamkan di sana?” semuanya tampak tertegun. Mereka menyadari satu hal, makam pasif yang akan digunakan untuk uji coba kapsul ini adalah tempat ayahku dimakamkan. Tempat peristirahatan terakhir sosok yang melahirkan mereka menjadi orang berpengaruh, Profesor Roult.

“Kalian boleh memikirkan keuntungan dari proyek ini, tapi selama aku belum menandatanganinya kuharap kalian tidak melangkah terlalu jauh.” Aku bangkit dari dudukku. Kakiku melangkah dengan tegas. Mataku panas hendak menangis.

Mungkinkah benar sebuah pepatah yang mengatakan, seseorang akan lupa pada siapa mereka berpijak tapi tak akan lupa pada siapa mereka bergantung.

Pikiranku seolah terbang ke sana ke mari. Membayangkan jasad ayahku beserta peti matinya digotong yang entah akan dibawa ke mana. Apa mereka lupa, siapa mereka tanpa bantuan Profesor Roult?

Oh, ayolah! Apakah aku salah saat ini? Aku seorang gadis yatim piatu yang harus hidup dengan perjanjian bahwa aku akan di asuh oleh seorang pria yang rakus akan jabatan dan harus menyetujui setiap penemuan ayahku yang akan dikembangkan oleh laboratorium miliknya. Aku adalah pengendali laboratorium itu. Tanpa persetujuanku, seluruh temuan ayahku tidak berhak dikembangkan. Dan ketika mereka -orang-orang yang sudah dibawa menuju masa kesuksesannya oleh ayahku- akan mengembangkan penemuan ayahku dengan menggusur makam tempatnya bersemayam, apakah aku akan diam saja?

Aku tidak bermasalah dengan ide yang kreatif itu. Yang aku permasalahkan adalah cara mereka memberlakukan ide tersebut di masyarakat. Dengan membongkar makam yang telah lalu? Beberapa waktu lalu, ia baru saja mengungkapkan bahwa peti itu bisa diurai 4-5 tahun, lalu jasad yang baru dikebumikan bagaimana?

Saat seperti ini, aku berpikir. Apakah aku yang belum bisa berpikir lebih dewasa atau memang temuan ayah yang bisa disalahkan gunakan di kemudian hari?*


*Sikna Aurel Rianditha, penulis adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Lahir 15 tahun lalu tepat tanggal 2 April. Mulai aktif dalam tulis menulis semenjak pandemi. Penulis bisa disapa di akun instagram: @sikna.ar dan melalui email: siknaarianditha@gmail.com. Tergabung pula di Teman Menulis Angkatan 2.